Minggu, 09 November 2014

Pertarungan Seorang Lelaki Dengan Iblis

Pertarungan Seorang Lelaki Dengan Iblis

Sepasang Suami isteri
awalnya hidup tenteram dan mereka taat
kepada perintah Tuhan, meskipun melarat. Segala yang dilarang Allah SWT, dan ibadah mereka tekun
sekali. Si Suami adalah seorang yang alim yang
taqwa dan tawakkal. Tetapi sudah beberapa
lama isterinya mengeluh terhadap kemiskinan
yang tiada habis-habisnya itu. Ia memaksa
suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan alangkah senangnya hidup jika
segala-galanya serba cukup.

Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat
ke ibu kota dengan mencari pekerjaan. Di
tengah perjalanan dia melihat sebatang pohon
besar yang tengah dikerumuni orang. Diapun
mendekat. Ternyata orang-orang itu sedang
memuja-muja pohon yang konon keramat dan
sakti itu. Banyak juga kaum wanita dan
pedagang-pedagang yang meminta-minta agar
suami mereka setia atau dagangnnya laris.

“Ini syirik,” fikir lelaki yang alim tadi. “Ini
harus dibanteras habis. Masyarakat tidak boleh
dibiarkan menyembah serta meminta selain
Allah SWT .” Maka pulanglah
dia dengan terburu-buru. Isterinya heran,
mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih
heran lagi waktu dilihatnya si suami mengambil
sebilah kapak yang diasahnya tajam. Lantas
lelaki alim tadi bergegas keluar. Isterinya
bertanya tetapi ia tidak menjawab. Segera
dinaiki keledainya dan dipacu secepat-cepatnya
ke pohon itu. Sebelum sampai di tempat pohon
itu tumbuh, tiba-tiba melompat sesusuk tubuh
tinggi besar dan hitam. Dia adalah iblis yang
menyerupai sebagai manusia.

“Hai, hendak kemana kamu?” tanya si iblis.

Orang alim tersebut menjawab, “Saya ingin
menuju ke pohon yang disembah-sembah
orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah
berjanji kepada Allah akan menebang roboh
pohon syirik itu.”

“Kamu tidak ada apa-apa hubungan dengan
pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan
syirik seperti mereka. Sudah pulang saja.”

“Tidak boleh, kemungkaran mesti diberantas,”
jawab si alim bersikap tegas.

“Berhenti, jangan teruskan!” bentak iblis
marah.

“Akan saya teruskan!”

Kerana masing-masing tegas pada pendirian,
akhirnya terjadilah perkelahian antara orang
alim tadi dengan iblis. Kalau melihat perbezaan
badannya, seharusnya orang alim itu dengan
mudah boleh dibinasakan. Namun ternyata
iblis menyerah kalah, meminta-minta ampun.
Kemudian dengan berdiri menahan kesakita dia
berkata,
“Tuan, maafkanlah kekasaran saya.
Saya tak akan berani lagi mengganggu tuan.
Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi,
apabila Tuan selesai menunaikan sembahyang
Subuh, di bawah tikar sembahyang Tuan saya
sediakan wang emas empat dinar. Pulang saja
berburu, jangan teruskan niat Tuan itu dulu,”

Mendengar janji iblis dengan uang emas empat
dinar itu, lunturlah kekerasan tekad si alim
tadi. Ia teringatkan isterinya yang hidup
berkecukupan. Ia teringat dengan keluh
kesah isterinya yang sangat membutuhkan
uang. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan
saja dia sudah boleh menjadi orang kaya.
Mengingatkan desakan-desakan isterinya itu
maka pulanglah dia. Patah niatnya semula
hendak membanteras kemungkaran.

Demikianlah, semenjak pagi itu isterinya tidak
pernah marah lagi. Hari pertama, ketika si alim
selesai sembahyang, dibukanya tikar
sembahyangnya. Betul di situ tergolek empat
benda berkilat, empat dinar uang emas. Dia
meloncat riang, isterinya gembira. Begitu juga
hari yang kedua. Empat dinar emas. Ketika
pada hari yang ketiga, matahari mulai terbit
dan dia membuka tikar sembahyang, masih
didapatinya uang itu. Tapi pada hari keempat
dia mulai kecewa. Di bawah tikar
sembahyangnya tidak ada apa-apa lagi keculai
tikar pandan yang rapuh. Isterinya mulai
marah kerana uang yang kemarin sudah
dihabiskan semua.

Si alim dengan lesu menjawab, “Jangan khuatir,
besok barangkali kita bakal mendapat delapan
dinar sekaligus.”

Keesokkan harinya, harap-harap cemas suami-
isteri itu bangun pagi-pagi. Selesai sembahyang
dibuka tikar sejadahnya kosong.

“Kurang ajar. Penipu,” teriak si isteri. “Ambil
kapak, tebanglah pohon itu.”

“Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku
habiskan pohon itu semuanya hingga ke ranting
dan daun-daunnya,” sahut si alim itu.

Maka segera ia mengeluarkan keledainya.
Sambil membawa kapak yang tajam dia
memacu keledainya menuju ke arah pohon
yang syirik itu. Di tengah jalan iblis yang
berbadan tinggi besar tersebut sudah
menghalang. Katanya menyorot tajam, “Ingin
kemana kamu!!!” hardiknya menggegar.

“Akan kutebang pohon itu,” jawab si alim
dengan gagah berani.

“Berhenti, jangan lanjutkan.”

“Bagaimanapun juga tidak boleh, sebelum
pohon itu tumbang.”

Maka terjadilah kembali perkelahian yang
hebat. Tetapi kali ini bukan iblis yang kalah,
tapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si
alim tadi bertanya penuh heran, “Dengan
kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya,
padahal dulu engkau tidak berdaya sama
sekali?”

Iblis itu dengan angkuh menjawab, “Tentu saja
engkau dahulu boleh menang, kerana waktu itu
engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah.
Andaikata kukumpulkan seluruh belantaraku
menyerangmu sekalipun, aku takkan mampu
mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari
rumah hanya kerana tidak ada uang di bawah
tikar sajadahmu. Maka biarpun kau keluarkan
seluruh kebolehanmu, tidak mungkin kamu
mampun menjatuhkan aku. Pulang saja. Kalau
tidak, kupatahkan nanti batang lehermu.”

Mendengar penjelasan iblis ini si alim tadi
tertegun. Ia merasa bersalah, dan niatnya
memang sudah tidak ikhlas kerana Allah SWT lagi. Dengan lemas ia
pulang ke rumahnya. Dibatalkan niat semula
untuk menebang pohon itu. Ia sadar bahwa
perjuangannya yang sekarang adalah tanpa
keikhlasan karena Allah SWT ,
dan ia sadar perjuangan yang semacam itu
tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari
kesiaan yang berlanjutan. Sebab tujuannya
adalah kerana harta benda, mengatasi
keutamaan Allah SWT dan
agama. Bukankah bererti ia menyalahgunakan
agama untuk kepentingan hawa nafsu semata-
mata?

“Barangsiapa di antaramu melihat sesuatu
kemungkaran, hendaklah (berusaha)
memperbaikinya dengan tangannya
(kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah
berusaha memperbaikinya dengan lidahnya
(nasihat), bila tidak mungkin pula, hendaklah
mengingkari dengan hatinya (tinggalkan). Itulah
selemah-lemah iman.” (HR: Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar